Kondisi air Jakarta makin buruk. Air yang biasa
digunakan penduduk Ibu kota ini mengalami pencemaran oleh mikrobiologi dan
bahan-bahan kimia,
pasalnya air baku yang menjadi sumber pembuatan air bersih yang layak di
konsumsi masyarakat telah tercemar akibatnya perusahaan air bersih kesulitan
mencari air baku untuk di jadikan sebagai air bersih untuk di konsumsi
masyarakat, dipandang dari segi pengembangan sumber daya air, permasalahan air
di Jawa termasuk kategori kritis, wilayah yang mengalami pencemaran paling parah
adalah Jakarta Pusat.
Pembuangan sampah dan lumpur yang sembarangan
tentunya tidak hanya di serap oleh aliran sungai tapi juga di serap oleh tanah,
akibatnya warga Jakarta yang mengonsumsi air tanah yang telah tercemar .
Penyebab air baku Jakarta tercemar yaitu dengan sampah-sampah masyarakat yang di buang ke aliran sungai, limbah pabrik yang di buang tanpa proses filterisasi ke sungai karna limbah pabrik ini lebih berbahaya karna bercampur dengan zat-zat kimia, tinja yang lansung dari septic tank yang langsung dibuang ke sungai sehingga yang terbuang tercemari air sungai yang menjadi air baku, limbah rumah tangga perkantoran dan perusahaan yang di buang di selokan, dari selokan di alirkan ke air sungai dan juga kebanyakan bahan pembersih yang beredar di Indonesia merupakan deterjen dengan kadar keras, kerasnya deterjen lantaran mengandung fosfat tinggi hingga lebih dari 18 persen kandungan seperti inilah yang membuat semakin memburuknya kualitas air .
Memburuknya kualitas air baku itu berakibat pada
batasnya kualitas air yang dapat di peroleh menjadi air bersihdan air minum ,
sebesar 84 persen sampel air tanah di Jakarta telah tercemar oleh tinja dan
dari penelitian Diskes RI 32.24 persen minum perpipaan dan 54,16 persen
non-perpipaan diketahui belum memnuhi syarat bakteriologis .
Kondisi itu mengedentifikasi bahwa air tanah di
sekitar pipa PAM telah tercemar berat di
tambah lagi dengan instalasi pengolahan air bersih (IPAB) di nilai sudah tidak
mampu lagi mengolah air baku yang telah tercemar itu .
Jadi pelaku
pencemaran lingkungan perlu diberi sanksi perbaikan atau rehabilitasi kawasan
yang sudah dirusaknya , hukuman kurungan dan denda tidak cukup.
"Undang-undang harus mampu memaksa perusahaan merahabilitasi kawasan”.sanksi menuntut perusahaan untuk memperbaiki lingkungan dicemari bisa menjadi upaya pencegahan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terlalu ringan memberikan sanksi kepada perusak dan pencemar lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup perlu diberikan kewenangan yang lebih tegas. Seperti, rekomendasi mencabut izin, sanksi dan mencabut izin perusahaan pencemar lingkungan. Selama ini, peran kementerian hanya memantau dan memberikan evaluasi.
Sumber : www.slideshare.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar